~RATIH~
Ini adalah naskah monolog pertama gw dan telah dipentaskan di acara The Sparkle and Indonesian Culture (Pentas Seni Budaya Fakultas Ilmu Kesehatan UKSW). :D. Silahkan dilihat!
Ratih
Monolog Karya : Ellen Yofita Priscilia Lombu (FIK – TiLaR)
Sutradara : Shela Pangaribuan (Fiskom – TiLaR)
Setting
Meja dan bangku kayu dengan lilin dan bunga mawar merah di atas meja.
Suasana di rumah Ratih (Ruang tamu) dengan pajangan-pajangan budaya Jawa Tengah
(Yogyakarta). Lampu menyala remang-remang.
(Musik menyala dan lampu hidup)
Namaku Ratih Kusumaningsih. Aku ini asli orang Indonesia. Aku
dilahirkan dengan budaya Jawa yang melekat di tubuhku. Bapak dan Ibuku
merupakan keturunan Yogyakarta asli. Bapak dan Ibuku sangat menjunjung tinggi
budaya yang melekat dalam jiwa mereka dan begitu pun aku. Bapak dan ibuku adalah
orangtua yang sangat mencintai anaknya yaitu aku. Karena aku adalah anak semata
wayang mereka. Bapakku bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Yogya, Ibuku
memiliki bisnis batik kecil-kecilan di salahsatu butik di Malioboro, dan aku
adalah mahasiswi umur 22 yang sedang menempuh skripsi. Hal yang pasti ketika
aku berlibur di kampung halamanku adalah membantu ibuku untuk menjalankan
bisnis batik dan kebaya di butiknya. Oh ya, aku memiliki teman-teman yang
sangat dekat denganku namanya Tia dan Novi. Mereka itu lebih gaul dibandingkan
dengan diriku. Pembicaraan mereka yang khas biasanya seputar film-film barat,
“Oh ya ampun, film twilight itu yang main tampan sekali ya.” Tapi tetap mereka
adalah teman terbaikku. Dan di semester ini aku memulai kisah percintaanku yang
yaaah cukup dibilang rumit.
Waktu itu...dikala senja...aku sedang termenung sendiri
sambil menunggu pelanggan datang, di dalam butik ibuku. Saat itu sedang libur
kuliah dan aku ikut membantu ibuku di butik. Aku ingat sekali, tiba-tiba ada
pria dengan perawakan tampan, putih, bermata biru, tingginya kira-kira 195cm,
dan menggunakan celana pendek khas turis-turis barat. Ia masuk ke dalam butik
dan bertanya kepadaku, "Sorry, can you help me to show the unique
Yogyakarta’s batik in this boutique? " aku pun menunjukkannya. Dia terlihat antusias dengan batik-batik yang
berjejer di dalam butik. Ia memegang setiap batik yang ia temui dan juga
bertanya-tanya, mengapa sih banyak sekali motifnya... apakah batik digunakan
untuk acara-acara tertentu...Lalu aku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia
ajukan. Untungnya aku cukup bisa berbahasa inggris, jadi aku bisa....ya
setidaknya aku terlihat keren di depannya.... jujur...aku juga merasa nerves
ketika berbicara dengannya. Aku ingat waktu itu aku menjawab “Actually, Mr.
A lot of Yogyakarta’s design. There are kawung batik, parang kusumo batik,
nitik batik, etc. For example, The Kawung Batik usually used for the king and
his family as a symbol of corage and justice. Parang Kusumo Batik is wore in
engaged ceremony.” Dengan bangga aku menjelaskan tentang batik
kepada dia. Hebat kan? Aku bisa berbahasa inggris juga. Aaaah... disitulah kami
memulai perkenalan kami. Keesokan harinya ia datang kembali untuk
bertanya-tanya seputar batik. Ia benar-benar menyukai batik! Begitu juga
seterusnya. Kami pun menjadi semakin dekat.
Waktu pun berlalu. Kami justru membicarakan hal lain misalkan
saja tentang dirinya. Dari ceritanyalah aku tahu bahwa Josh adalah pria yang
cukup mapan di umurnya yang ke-31 dan dia berasal dari Los Angels. Ia seorang
pengusaha ekspor impor di negaranya yang sedang berlibur sekaligus menjalani
urusan bisnisnya di Indonesia selama 3 bulan. Josh juga ternyata telah bercerai
dengan istrinya 2 tahun yang lalu dan ia sekarang masih hidup sendiri tanpa
seorang anak. Ia adalah pria yang sangat hangat dalam pembicaraan yang kami
bicarakan. Satu lagi yang begitu menggelikan ketika aku mendengarkan
penyataannya, "I'd love to get married in Indonesia and find soulmate
from this country." Hahaha... Tapi, sebagai gadis yang mendengarkan
pernyataan itu....hatiku tiba-tiba tersentuh luluh. Hari-hari kami lalui
bersama dan ia benar-benar menjagaku layaknya seorang perempuan yang ia
sayangi. Benih-benih cinta di antara kami bertumbuh. Aku dan dia menyadari itu
ketika kami sedang terlarut dalam kemesraan malam yang bertabur
bintang-bintang. (Lampu Mati)
(Lampu Hidup dan musik romantis menyala)
Aku juga ingat, pada tanggal 14 Februari 2014, ia mengajakku
untuk makan malam di sebuah restoran terkenal di Yogyakarta, berdua dengannya, sehari
sebelum ia berangkat ke negaranya. Aku mengiyakannya. Makan malam kami sungguh
romantis. Alunan musik instrumen mengiringi malam kami serta lilin yang menyala
di tengah bundaran meja. Saat aku baru saja duduk, ia mengejutkanku dengan
bunga mawar merah dan meraih telapak tangan kananku dan mengecupnya dengan
kasih sayang. Aku tersanjung! Wajahku saat itu benar-benar merona, "Thank
you. It's really beautiful." Di sela makan malam romantis kami, kami membicarakan hal serius tentang
hubungan kami. “Ratih, please wait me for
1 years. I must back to my country.” Aku tersentak dengan kata-katanya. 1
tahun?!! Mau di kemanakan hubungan ini? Gadis mana yang tahan jika ditinggal
selama itu dan begitu jauh. “Sorry, Josh!
But, How about our relationship? I’m afraid that you are lying to me. Are you
serious with me? Why don’t you move here!” “When i back to this city again, i’ll marry you. I am serious.” “Okay if you say so. May i ask something to
you?” “Yes, you may honey.” “If you seriously with me, please marry me with my
culture and live in Indonesia. Can you?” Lama aku menunggu, ternyata ia
tdak memberikanku jawaban yang pasti. Ia tidak menjawab apapun. Perasaanku
kacau. Benar-benar kacau. Makan malam kami berubah menjadi perang dingin,
tetapi tetap di hatiku adalah aku mencintainya.
Beberapa hari kemudian setelah Josh pergi ke Negaranya, aku
tidak dapat mengantarnya ke bandara untuk mengucapkan perpisahan padahal ia
sempat sampai di depan pintu rumahku untuk pamit pada aku dan keluargaku.
Tetapi aku samasekali tidak bertemu dengannya. Orang tuaku mengurungku di dalam
rumah. Bapakku mengusir Josh mentah-mentah. Akhirnya Josh pun pergi, aku
mendengar langkah kakinya pergi. Hatiku semakin miris. Selepas Josh pergi,
orangtua ku memanggilku ke ruang keluarga. “Ora!
Ora iso! Kamu itu jangan dekat-dekat dengan pria Londo. Kamu kan tahu kalau
budaya kita dengan mereka bedo. Kalau kamu menikah dengannya, mau kamu ajarin
apa anakmu nanti?” “Tuh, ndu. Kamu mbo yo dengerin bapakmu. Tapi, pak. Bapak
jangan terlalu emosi. Tenang, pak.” “Bapak, Ibu. Ratih kan udah besar. Ratih
udah bisa menentukan pilihan kekasih Ratih sendiri. Ratih sudah mengenal Josh
cukup lama, pak buk.” “Tapi kan kamu belum tahu masa lalunya. Kamu tuh sudah
bapak sekolahkan kamu susah payah dan sekarang kamu melawan bapakmu ini! Kamu
mulai kurang ajar ya! Pasti gara-gara pria londo itu.” “Pak, Ratih nggak suka
bapak bilang seperti itu. Bapak jangan nuduh-nuduh dia seperti itu. Toh dia berjanji
akan menikahi Ratih 1 tahun lagi.” “Pak, mbo yo ojo marah-marah toh, pak. Ratih,
bapakmu dan ibu hanya ingin yang terbaik buat kamu. Kami nggak mau kamu
menyesal nantinya.” “Bu, jangan bela anak durhaka seperti ini! Pokoknya bapak
jodohkan kamu dengan pilihan bapak. Dia toh satu budaya dengan kita.” Aku
muak mendengarkan ocehan bapakku yang seperti itu. Dia benar-benar egois. Dia
nggak mengerti perasaan aku.
Setelah perseteruan itu terjadi, aku langsung pergi ke rumah
Ningsih untuk menceritakan semuanya. Ia justru memberikanku saran yang
mengagetkanku, “Ratih, kamu tidak boleh menyerah! Kalau Bapakmu tidak
menyetujui, kamu menikah saja di luar negeri. Kalau aku sih, pasti akan memilih
itu. Daripada kamu dijodohkan dengan pria yang tidak kamu cintai! Coba kamu
pikir-pikir, pasti kalau kamu menikah dengan bule itu eh siapa namanya?
Josh.... ya kamu bisa ke luar negeri, bisa jalan-jalan, dan pastinya kamu bisa
punya anak yang lucu-lucu dari Josh. Josh kan juga tampan.” “Ning, ya nggak
begitu juga. Ini kan masalah perasaanku. Tidak semudah itu, Ning.” “Ya
sudah....kamu mbo yo berdoa pada Gusti agar kamu bisa menemukan jawabannya.
Pokoknya, ya Josh saja. Kalau kamu tidak mau, aku juga mau. Hehehe.”
(Menyalakan Lilin)
Aku tidak bisa
melepaskannya
Aku juga tidak dapat
meninggalkan budayaku sendiri
Apa yang aku lakukan
adalah untuk orang tuaku
Tetapi aku
mencintainya....
Aku yakin....
Bahwa cinta tidak
memandang bulu!
Bahwa cinta tidak
memandang suku!
Ia berdiri di atas
kelemah lembutan hati
(Lampu mati 15 detik) (memegang bucket bunga dan memakai bando bunga)
(Lampu menyala)
Cinta yang
diperjuangkan adalah cinta yang sejati
Ia tidak akan pernah
pudar
Ia kembali dengan janji yang tepat...
Ia kembali pada waktu yang benar-benar telah ia
rencanakan...
Ia suci....
Aku bersyukur ketika cinta di antara kami begitu kuat..
Dan semua menyambut dengan taburan bunga putih...
Inilah akhir penantianku selama ini.
_Tamat_
0 komentar: